MEMPERBAIKI NALAR HUKUM DIREKTUR RSUD ANDI MAKKASAU

Ruang lingkup hukum kesehatan sebenarnya bukan hal yang baru di dalam tata hokum Indonesia, namun dalam perjalanannya sedikit kurang berkembang seperti bidang hukum pidana, hukum tata negara, hukum administrasi negara dan hukum bisnis. Namun bukan berarti harus terhenti dan tidak memilih bidang hukum ini sebagai wadah pengabdian keilmuan untuk masyarakat secara luas. Rumah sakit adalah bagian penting dalam pranata hukum kesehatan, yang mana secara yuridis konstitusional Rumah Sakit diatur dalam Pasal 34 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak” dasar inilah yang kemudian menjadi dasar lahirnya UU Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit. Rumah sakit pada sisi lain adalah wadah segala sumber daya manusia dibidang medis dan sumber daya teknologi medis bertemu guna memberikan kesehatan paripurna kepada masyarakat. Secara khusus sumber daya manusia yang dimaksud yaitu profesi dokter/dokter gigi, perawat, bidan, dan apoteker. Tentu dari semua profesi tersebut memiliki wadah keilmuan dan wadah organisasi profesi sendiri, sampai pada sumpah profesi pun berdiri sendiri-sendiri. Pokok utama dari tulisan ini menanggapi kebijakan Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Andi Makkasau sebagaimana judul berita “ Ambil Foto di Rumah Sakit Tanpa Izin, Bisa Terjerat Undang-Undang”. Selain itu menurut dr.Reny Anggreni Sari selaku Direktur Rumah Sakit menjelaskan, pengambilan gambar di rumah sakit tidak boleh melanggar privasi pasien, keluarga pasien maupun petugas pasien (Rakyat Sulsel.Co, 11/6/2019). Dalam berita tersebut dalil hukum yang digunakan Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Andi Makkasau yakni UU Praktik Kedokteran Pasal 48 dan Pasal 51, UU Telekomunikasi Pasal 40, Peraturan Menteri Kesehatan No.69 Tahun 2014 Pasal 28A dan huruf C, dan Peraturan Menteri Kesehatan No.36 Tahun 2012 Pasal 4. Membaca berita yang memuat kebijakan Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Andi Makkasau, penting untuk penulis memperbaiki nalar hukum Direktur Rumah Sakit Andi Makkasau, yang dalam penilaian penulis sebagai pengamat hukum kesehatan, sangat tidak berdasar dan merusak tatanan hukum kesehatan khususnya hukum rumah sakit, selain itu tidak memberi edukasi yang baik kepada masyarakat dengan baik. Secara seksama penulis mengajak pembaca untuk kembali melihat pasal-pasal dalam UU Praktik Kedokteran dan UU Telekomunikasi yang menjadi Direktur Rumah Sakit Andi Makkasau. Dalam Pasal 48 UU Praktik Kedokteran ayat (1) berbunyi “Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran wajib menyimpan rahasia kedokteran”. Ayat (2) berbunyi “Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan pasien, memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum, permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan perundang-undangan”. Pasal 51 UU Praktik Kedokteran berbunyi “Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban” dan huruf C berbunyi “merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia”. Selain itu apabila mencermati Pasal 40 UU Telekomunikasi berbunyi “Setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun”. Ketika melihat pasal-pasal yang termuat dalam UU Praktik Kedokteran dan UU Telekomunikasi, sebagaimana dalil Direktur Rumah Sakit Andi Makkasau tidak memiliki penalaran hukum yang baik untuk melarang pengambilan foto yang dilakukan oleh pengunjung. Hal tersebut dikarenakan dalam norma Pasal 48 dan Pasal 51 UU Praktik Kedokteran, dimana norma yang dimaksud “setiap dokter atau dokter gigi”, dari sini telah diketahui subjek hukum yang dimaksud hanya dokter atau dokter gigi bukan subjek hukum lain yakni orang atau badan hukum yang tidak sebagai dokter dan tidak juga bekerja di Rumah Sakit, terkecuali apabila norma tersebut bukan “setiap dokter atau dokter gigi”, melainkan “setiap orang” maka secara hukum bersifat luas tidak hanya dokter atau dokter gigi, namun juga melingkupi setiap orang atau badan hukum. Sedangkan orang yang dimaksud oleh Direktur Andi Makkasau dalam hal ini ialah pengunjung yang mengambil “Foto di Rumah Sakit Tanpa Izin, Bisa Terjerat Undang-Undang”, sehingga telah jelas bahwa ada penalaran hukum yang salah untuk jadikan Pasal 48 dan Pasal 51 sebagai dasar hukum dalam kebijakan tersebut. Kembali juga melihat Pasal 51 UU Praktik Kedokteran, norma dalam Pasal 51 telah jelas hanya ditujukan kepada “dokter atau dokter gigi” artinya bahwa tidak ditujukan kepada subjek hukum lain dalam hal ini orang atau badan hukum yang bukan dokter atau dokter gigi. Norma Pasal 51 hanya dikhususkan kepad dokter atau dokter gigi dalam menjalankan profesinya harus tetap merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, mengapa hal ini kemudian diatur dalam Pasal 51 UU Praktik Kedokteran, dikarenakan merahasiakan segala sesuatu tentang pasien adalah nilai etik dasar yang termuat dalam Sumpah Kedokteran. Selain itu perlu diketahui bahwa “privasi” yang dimaksud adalah privasi tindakan medis antara dokter dan pasien sebagai bentuk dari hubungan terapeutik dalam dunia medis. Maka menurut penulis keliru dan kesalahan besar ketika dr.Reny Anggreni Sari menyamakan tindakan pengunjung rumah sakit mengambil gambar di rumah sakit tersebut adalah bentuk tindakan yang melanggar privasi pasien sebagaimana Pasal 48 dan Pasal 51 UU Praktik Kedokteran. Terkait Pasal 40 UU Telekomunikasi menurut penulis tidak ada relevansi dengan hal yang kemudian ingin diatur oleh Direktur Rumah Sakit Andi Makkasau. Apabila kembali melihat pengertian penyadapan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (“KBBI”) adalah mendengarkan (merekam) informasi (rahasia, pembicaraan) orang lain dengan sengaja tanpa sepengetahuan orangnya. Telah Jelas bahwa Peraturan Menteri Kesehatan tidak masuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Selain itu secara umum Peraturan Menteri hanya mengatur hal-hal teknis kementerian yang secara hukum tidak mengatur terkait sanksi-sanksi hukum, sehingga tidak relevan dan tidak memiliki nalar hukum, ketika Peraturan Menteri Kesehatan dijadikan dalil oleh Direktur Rumah Sakit Andi Makkasau untuk menjerat orang dengan undang-undang dikarenakan mengambil gambar di Rumah Sakit Andi Makkasau. Dari sini telah jelas bahwa pengaturan yang dibuat oleh Direktur Rumah Sakit Andi Makkasau adalah tindakan tidak memiliki penalaran hukum sesuai dengan kaidah-kaidah hukum. Maka untuk itu penulis menghimbau kepada Direktur Rumah Sakit Andi Makkasau untuk pelajari lagi aspek-aspek hukum kesehatan dan penting kiranya untuk meminta pendapat ahli-ahli hukum dibidang hukum kesehatan, agar aturan yang dibuat tidak menabrak aturan hukum yang telah ada. Tujuannya agar tidak merusak tatanan hukum kesehatan secara khusus serta tidak melahirkan suatu aturan yang cacat dan tidak melanggar dari ketentuan hukum yang lebih tinggi kedudukannya. Dikarenakan hukum yang proporsional hanya hadir dari penalaran hukum yang sesuai kaidah-kaidah hukum. Penulis : Hasrul Buamona,SH.,MH (Advokat-Konsultan Hukum Kesehatan dan Kandidat Doktor Hukum Kesehatan UII Yogyakarta)

Bagikan produk ke :