STUDI KASUS : Gawat Darurat Medis Trauma Maksilofasial pada Anak disertai Cedera Kepala

STUDI KASUS : Gawat Darurat Medis Trauma Maksilofasial pada Anak disertai Cedera Kepala

STUDI KASUS

Seorang pasien anak laki-laki berusia 9 tahun datang dengan perdarahan dari mulut. Kurang lebih 3 jam sebelum masuk rumah sakit, ketika pasien mengendarai sepeda di rumahnya yang terletak di daerah Jatinangor, tiba-tiba pasien terpeleset di jalan menurun karena rusaknya rem dan terjatuh dengan mekanisme wajahnya terbentur aspal terlebih dahulu. Riwayat pingsan,mual dan muntah, perdarahan dari hidung dan telinga tidak ada, namun terdapat riwayat perdarahan dari mulut. Pasien dibawa ke Pusat Kesehatan Masyarakat di area Jatinangor namun tidak dilakukan tindakan apapun disana, kemudian pasien dibawa ke Rumah Sakit di area Cileunyi dan dilakukan penanganan pembersihan luka. Pasien dirujuk ke IGD Rumah Sakit Hasan Sadikin untuk perawatan lebih lanjut. Riwayat imunisasi pasien lengkap.  
Penilaian awal dilakukan pada pasien dan ditemukan A: clear dengan C-spine control, B: bentuk dan gerak dada simetris, Vesicular Breath Sound kanan sama dengan kiri, respirasi 24 kali per menit, C: denyut nadi 105 kali per menit, D: penilaian GCS 15 (E4M6V5), pupil bulat isokhor diameter 3 mm kiri sama dengan kanan, tidak ada gangguan refleks cahaya, dan tidak ditemukannya paresis. Penilaian sekunder pada Gambar 1 menunjukkan adanya luka abrasif pada klavikula bagian atas dan regio leher kanan.
terhadap perkembangan kraniofasial. Trauma paling sering terjadi pada anak-anak adalah trauma dentoalveolar karena terjatuh saat bermain atau dapat pula terjadi akibat kecelakaan kendaraan bermotor.7, 8 Penanganan kegawatdaruratan meliputi pemeriksaan penilaian awal yang harus segera dilakukan dengan cepat pada pasien trauma. Penyebab utama kematian pada pasien trauma antara lain obstruksi jalan napas, kegagalan pernapasan, perdarahan masif, dan cedera otak. Penilaian awal pada kasus pasien trauma ini bedasarkan Advance Trauma Life Support (ATLS) menurut American College of Surgeons (ACS). Akronim yang umum digunakan dalam melakukan penilaian awal pada trauma adalah ABCDE, setiap huruf merepresentasikan area fokus. Apabila abnormalitas teridentifikasi di salah satu area fokus, maka hal tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum menuju algoritma selanjutnya.9 Algoritma A atau airway pada kasus ini menunjukkan adanya jalan napas yang bebas dengan c-spine control. Airway merupakan prioritas penilaian utama pada pasien trauma. Jalan napas dapat terhalang oleh lidah atau gigi yang terlepas. Selain itu darah, muntah, benda asing atau jaringan inflamasi juga mungkin dapat membahayakan jalan napas. Setelah memastikan adanya jalan napas yang bebas, algoritma B atau breathing dinilai. Penilaian ini dilakukan dengan inspeksi dan auskultasi terlebih dahulu. Inspeksi meliputi pengelihatan operator terhadap deviasi trakea, pneumotoraks terbuka atau luka pada dada yang signifikan, flail chest, gerakan dada paradoks, atau ekskursi dinding dada asimetris. Kemudian, auskultasi terhadap kedua paru dilakukan untuk mengidentifikasi penurunan atau bunyi paru yang asimetris.9, 10 Pernapasan pasien pada kasus ini dalam batas normal dengan bentuk dan gerak yang simetris serta terdapat bunyi napas yang simetris. Pemeriksaan berlanjut ke algoritma C atau circulation. Sirkulasi yang adekuat dibutuhkan untuk oksigenasi ke otak juga ke organ vital lainnya. Pemeriksaan sirkulasi dilakukan bersama dengan pengendalian perdarahan. Cedera maksilofasial cenderung mengalami perdarahan masif dan perdarahan yang dapat mengancam nyawa berkisar dari 1,4% sampai 11%.11 Kehilangan darah pada pasien trauma dapat menyebabkan syok. Sirkulasi dan perdarahan dievaluasi dengan
menilai tingkat responsivitas pasien, perdarahan yang terlihat jelas, warna kulit, dan denyut jantung. Pemeriksaan selanjutnya adalah algoritma D atau disability. Pemeriksaan ini meliputi penilaian status neurologis, dinilai dari Glasgow coma scale (GCS), besar dan reaksi pupil, serta tanda lateralisasi.9 GCS membagi tingkat keparahan cedera kepala menjadi cedera kepala ringan atau mild head injury (GCS 14-15), cedera kepala sedang atau moderate head injury (GCS 9-13) dan cedera kepala berat atau severe head injury (GCS 3-8). Skor GCS didasarkan pada penilaian 3 komponen keadaan pasien yaitu, respons pembukaan mata (E), respons motorik (M) dan respons verbal (V). Ketiga komponen dijumlahkan (E+M+V) sehingga didapat skor GCS maksimal 15 dan skor minimal 3.12 Pasien menunjukkan GCS 15 (E4M6V5) dengan pembukaan mata spontan sehingga nilai E adalah 4, dapat menggerakkan anggota tubuh sesuai perintah sehingga nilai M adalah 6, dan kemampuan berbicara dengan orientasi baik sehingga nilai V adalah 5, sehingga cedera kepala pasien diklasifikasikan sebagai mild head injury atau cedera kepala ringan. Penatalaksanaan kasus ini diawali dengan penilaian cedera kepala dan suturing vulnus laceratum regio frontal oleh bedah saraf, penilaian kardiopulmonal oleh ilmu kedokteran anak untuk persiapan operasi dan konsul bagian anestesiologi untuk tata laksana serta penilaian pre operatif untuk tindakan dalam anestesi umum. Tindakan pada kasus ini dilakukan wound debridement, ekstraksi gigi 83, 85, 42, alveolektomi pada regio gigi 54-21 dan 32-85, serta suturing pada vulnus laceratum dan vulnus punctum. Trauma maksilofasial dapat disertai dengan cedera kepala. Cedera kepala merupakan suatu cedera yang dapat mengakibatkan perubahan fungsi, yang terjadi baik secara fisik maupun mental yang berhubungan dengan benturan terhadap kepala. Trauma maksilofasial memiliki manifestasi fraktur wajah. Fraktur wajah relatif jarang terjadi pada anak-anak dibandingkan dengan orang dewasa.8 Hal tersebut diakibatkan karena strukur kerangka tulang wajah yang berbeda pada anak. Karakteristik kerangka wajah pada anak yaitu memiliki banyaknya tulang kartilago dan kanselus, mineralisasi yang rendah dan korteks yang belum berkembang, banyaknya garis sutura yang fleksibel, hal ini memberikan elastisitas dan fleksibilitas yang lebih besar pada kerangka wajah pada anak. Lapisan jaringan adiposa yang tebal melapisi kerangka wajah anak dan fat pads yang melapisi rahang atas dan bawah juga membantu melindungi tulang-tulang tersebut.13 Trauma maksilofasial pada anak kebanyakan terbatas pada cedera jaringan lunak dan dentoalveolar. Cedera tersebut dapat menyebabkan adanya luka laserasi superfisial, abrasi di bagian wajah, juga dapat berkaitan dengan berbagai cedera terhadap kepala, dada, abdomen, cervical spine, atau esktremitas.14 Fraktur rongga mulut juga mungkin terpengaruh oleh trauma maksilofasial diantaranya dapat menyebabkan gigi geligi goyang atau terlepas, kerusakan jaringan lunak seperti edema, kontusio, abrasi, laserasi dan avulsi.15 Pernyataan tersebut sesuai dengan kasus ini yang menunjukkan adanya fraktur dentoalveolar dan fraktur palatal inkomplit tipe 2, terdapat luka laserasi di bagian wajah dan juga di dalam rongga mulut, luka punctum di area labiomentale, dan luka abrasif di regio wajah juga pada klavikula bagian atas dan regio leher kanan pasien, serta terjadinya avulsi dan kegoyangan gigi dengan mobiliti grade 3 di beberapa gigi.

SIMPULAN

Kasus ini memberikan gambaran pada hasil perawatan dengan kondisi pasien yang baik saat datang kontrol, perdarahan dapat teratasi dan luka pada ekstra oral dan intra oral mengalami penyembuhan. Penatalaksanaan cedera kepala dan trauma maksilofasial pada kegawatdaruratan medis anak harus dilakukan segera untuk mengurangi resiko kematian dan kecacatan. Penatalaksanaan kegawatdaruratan medis cedera kepala dan trauma maksilofasial pada kasus ini yang melibatkan bagian bedah saraf, ilmu kesehatan anak, anestesi dapat mencegah kematian dan mengurangi resiko kecacatan yang lebih parahPenilaian awal secara komprehensif sangat penting dalam menentukan rencana perawatan kegawat daruratan pada pasien trauma maksilofasial.

DAFTAR PUSTAKA

1. Fonseca RJ. Oral and Maxillofacial Surgery: 3rd ed. Elsevier Health Sciences. 2017. p. 2696
2. Boffano P, Roccia F, Zavattero E, Dediol E, Uglešić V, Kovačič Ž, Vesnaver A, et al. European Maxillofacial Trauma (EURMAT) in children: a multicenter and prospective study. Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol. 2015; 119(5): 499-504. DOI: 10.1016/j. oooo.2014.12.012. 3. Isik D, Gonullu H, Karadas S, Kocak OF, Keskin S, Garca MF, et al. Presence of accompanying head injury in patients with maxillofacial trauma. 2012; 18(3): 200-6. DOI: 10.5505/ tjtes.2012.01047 4. Satyanegara HR, Abubakar S, Maulana A, Sufarnap E, Benhadi IJEIJPGPU. Ilmu Bedah Saraf Satyanegara. 2014. 5. Rasul MI, Arifin MJM. Penatalaksanaan pasien cedera kepala dengan fraktur panfasial dan pneumosefalus. 2012;1(6): 1-9. DOI: 10.35856/ mdj.v1i6.85 6. Güven E, Uğurlu AM, Kuvat SV, Kanlıada D, Emekli U. Minimally invasive approaches in severe panfacial fractures. Ulus Travma Acil Cerrahi Derg. 2010; 16(6): 541-5. 7. Al Shetawi AH, Lim CA, Singh YK, Portnof JE, Blumberg SM. Pediatric Maxillofacial Trauma: A Review of 156 Patients. J Oral Maxillofac Surg. 2016; 74(7): 1420.e1-4. DOI: 10.1016/j. joms.2016.03.001. 8. Aghdash SA, Azar FE, Azar FP, Rezapour A, Moradi-Joo M, Moosavi A, Sina Ghertasi Oskouei 7. Prevalence, etiology, and types of dental trauma in children and adolescents: systematic review and meta-analysis. Med J Islam Repub Iran. 2015; 29(4): 234. 9. Planas JH, Waseem M, Sigmon DFJS. Trauma primary survey. Stat pearls. 2020; 49(1): 48-53. 10. ATLS Subcommittee; American College of Surgeons’ Committee on Trauma; International ATLS working group. Advanced trauma life support (ATLS®): 9th Ed. J Trauma Acute Care Surg. 2013 May;74(5):1363-6. DOI: 10.1097/ TA.0b013e31828b82f5. 11. Jose A, Nagori SA, Agarwal B, Bhutia O, Roychoudhury A. Management of maxillofacial trauma in emergency: An update of challenges and controversies. J Emerg Trauma Shock. 2016; 9(2):73-80. DOI: 10.4103/0974- 2700.179456. 12. Tsitsopoulos, F.D., Tsitsopoulos, P.P. Handbook of Neurosurgery (ebook), 7th Edition, by Mark S. Greenberg. Acta Neurochir 156, 2019
(2014). DOI: 10.1007/s00701-014-2159-9
  1. Mukherjee CG, Mukherjee U. Maxillofacial trauma in children. Int J Clin Pediatr Dent. 2012; 5(3): 231-6. DOI: 10.5005/jp-journals-10005-1174.
  2. Joshi UM, Ramdurg S, Saikar S, Patil S, Shah K. Brain Injuries and Facial Fractures: A Prospective Study of Incidence of Head Injury Associated with Maxillofacial Trauma. J Maxillofac Oral Surg. 2018 Dec;17(4):531-537. DOI: 10.1007/s12663-017-1078-8.
  3. Sastrawan AD, Sjamsudin E, Faried AJMKGI. Penatalaksanaan emergensi pada trauma oromaksilofasial disertai fraktur basis kranii anterior. 2017; 3(2): 111-7. DOI: 10.22146/ majkedgiind.12606
  4. Wisher D. Martindale: The Complete Drug Reference. 37th ed. J Med Libr Assoc. 2012; 100(1): 75–6. DOI: 10.3163/1536-
5050.100.1.018. 17. Eftekharian H, Tabrizi R, Kazemi H, Nili M. Evaluation of a Single Dose Intravenous Paracetamol for Pain Relief After Maxillofacial Surgery: A Randomized Clinical Trial Study. J Maxillofac Oral Surg. 2014; 13(4): 478-82. DOI: 10.1007/s12663-013-0557-9. 18. Azimi Far A, Abdoli A, Poorolajal J, Salimi R. Paracetamol, ketorolac, and morphine in post- trauma headache in emergency department: A double blind randomized clinical trial. Hong Kong J Emerg Med. 2020; 15(1): 1-7 DOI: 10.1177/1024907920920747 19. Moore UJ. Principles of oral and maxillofacial surgery. 6th Ed. John Wiley & Sons; 2011. p. 356 20.Braun TL, Maricevich RS. Soft Tissue Management in Facial Trauma. Semin Plast Surg. 2017 ; 31(2): 73-79. DOI: 10.1055/s- 0037-1601381.
       
  Pemeriksaan umum pasien ditemukan kulit turgor positif, kepala wajah asimetris, terdapat edema, dan hematoma pada regio rahang atas kiri. Pemeriksaan mata konjungtiva non anemis, sklera non ikterik. Pemeriksaan leher terdapat luka abrasif pada regio leher kanan, tekanan vena jugularis (JVP) tidak meningkat, nodus limfatikus submandibula tidak teraba dan tidak sakit. Pemeriksaan toraks menunjukkan adanya luka abrasif pada klavikula bagian atas dengan bentuk dan gerakan yang simetris. Pemeriksaan paru, jantung, abdomen, dan hepar dalam batas normal. Ekstremitas terasa hangat dan capillary refill time Status lokalis pada Gambar pemeriksaan ekstra oral terdapat laserasi pada dahi kanan, bibir bawah, dan regio dagu dengan ukuran 2x1x0,5 cm; 1x0,5x0,5 cm; 1,5x0,5x0,5 cm, tepi irreguler, berdasar otot. Terdapat luka punctum pada regio labiomentale dengan ukuran 1x0,5cm dengan tepi irreguler. Pemeriksan regio wajah terdapat beberapa luka abrasif. Pemeriksaan intra oral pada Gambar 3 menunjukkan terdapat laserasi pada gingiva di regio gigi 54-21 dan 32-85, berukuran 3x2x0,5 cm dan 4x1x0,5 cm, tepi irreguler, dan berdasar tulang. Bagian palatum terdapat laserasi dengan ukuran 3x0,5x0,5 cm, tepi irreguler, dan berdasar tulang (Gambar 2). Pemeriksaan mukosa buccal, lidah, dasar mulut, dan tonsil dalam batas normal.
Pemeriksaan gigi geligi pada Gambar 4 menunjukkan gigi 54, 53, 12, 11, 21 mengalami avulsi dengan fraktur palatal inkomplit. Regio gigi 32, 31, 41, 84, 85 mengalami fraktur dentoalveolar dengan avulsi pada gigi 32, 31, 41, 84, dan fraktur segmental dentoalveolar pada regio gigi 42 dan 83. Gigi 42, 83, dan 85 mengalami kegoyangan dengan mobiliti grade 3. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah pemeriksaan laboratorium, rontgen toraks (Gambar 5), rontgen AP-Lateral kepala (Gambar 6), dan Ultrasonography (USG) Focused Assessment Sonography for Trauma (FAST). Pemeriksaan hematologi menunjukkan jumlah hematokrit 33,8% dan jumlah leukosit 14.420 mm3. Pemeriksaan kimia darah menunjukkan jumlah ureum 44 mg/ dL. Skrining COVID-19 dilakukan dengan rapid- test dengan hasil non-reaktif. Pemeriksaan rontgen seperti terlihat pada Gambar 5 di bawah menunjukkan toraks dalam batas normal. Tidak terdapat fraktur pada kosta, skapula, dan klavikula, tidak terdapat trauma paru basah atau kontusio paru, tidak terdapat kardiomegali, dan tidak ada tanda tuberkulosis paru aktif. Gambar rontgen AP-Lateral kepala (Gambar 6) menunjukkan adanya diskontinuitas tulang alveolar pada rahang tas dan bawah. Pemeriksaan USG dalam batas normal, tidak ada cairan pada area hepatorenal, splenorenal, dan retrovesikal.
  Diagnosis pada kasus ini adalah cedera kepala ringan ditandai dengan GCS pasien 15, fraktur palatal inkomplit tipe 2, fraktur dentoalveolar pada regio gigi 54-21, 85-32, dengan fraktur segmental dentoalveolar pada regio gigi 42-83, avulsi gigi 11, 12, 53, 54, 21, 32, 31, 41, 84, dan mobiliti grade 3 pada gigi 42, 83, 85, luka laserasi pada dahi, bibir bawah, palatum, dagu, dan gingiva pada regio gigi 54-21 dan 85-32, serta luka punctum pada regio labiomentale. Prognosis pada
kasus pasien ini adalah ad bonam denagn rencana perawatan penjahitan luka di ekstra oral dan intra oral yang dilakukan dalam anestesi umum. Penatalaksan pada kasus ini antara lain diberikan IVFD RL 63 gtt/hari (microdrip), injeksi Tetagam, konsul kepada departemen bedah saraf untuk penilaian cedera kepala ringan dan tindakan suturing pada regio frontal, ilmu kedokteran anak untuk penilaian kardiopulmonal persiapan tindakan dalam anestesi umum dan anestesiologi untuk konsul penilaian pre operatif tindakan dalam anestesi umum, pemberian obat Ceftriaxone inj 1gr IV, Paracetamol inf 300mg IV. Pasien dilakukan pembersihan luka (Gambar 7), ekstraksi gigi 83, 85, 42, alveolektomi pada regio gigi 54-21, 32-85, serta penjahitan pada luka laserasi (Gambar 8) dan punctum dengan anestesi umum.
Pasien datang untuk kontrol pada Post Operation Day V untuk lepas jahitan ekstra oral dengan hasil luka dapat menutup, jahitan pada intra oral masih tertutup seperti terlihat pada Gambar 9. Pasien menandatangani informed consent dan setuju kasusnya untuk dipublikasikan.

PEMBAHASAN

Penatalaksanaan yang dilakukan pada kasus ini setelah dilakukan pemeriksaan anamnesis, penilaian awal, penilaian sekunder, dan pemeriksaan objektif secara keseluruhan dan lokalis, merupakan pemeriksaan penunjang untuk memastikan keadaan pasien secara menyeluruh. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain rontgen toraks, USG FAST, dan rongent AP- Lateral kepala, dengan hasil rontgen toraks dan USG FAST dalam batas normal, sedangkan rongent AP-Lateral kepala menunjukkan adanya diskontinuitas pada tulang alveolar rahang atas dan bawah. Pemeriksaan laboratorium termasuk hematologi dan kimia darah dilakukan, serta skrining COVID-19 melalui rapid test yang juga dilakukan dengan hasil non-reaktif. Pasien diberikan cairan infus ringer laktat dengan dosis 63 gtt/hari (microdrip). Cairan infus dapat menjaga hidrasi selama pasien tidak dapat menerima cairan dari luar tubuh dan menggantikan cairan yang hilang selama proses operasi berjalan sehingga keseimbangan tubuh tetap terjaga.14 Kemudian dilakukan injeksi Tetagam sebagai terapi pencegahan tetanus pada pasien dengan luka baru. Pasien diberikan obat Ceftriaxone 1gr dan Parasetamool 300 mg secara intravena. Ceftriaxone merupakan Sefalosporin generasi ke-3 yang memiliki spektrum yang luas dalam aktivitasnya dibandingkan dengan generasi lainnya. Obat ini aktif dalam melawan bakteri gram negatif termasuk Enterobacteriaceae, dan juga aktif dalam melawan streptococci.16 Ceftriaxone diberikan sebelum operasi sebagai antibiotik profilaksis untuk mencegah terjadinya infeksi setelah operasi. Parasetamol merupakan obat analgesik non- opioid dan non-inflamatori dengan efek sentral yang meningkatkan ambang nyeri di sistem sarafpusat. Parasetamol merupakan obat yang aman dan efektif. Parasetamol memiliki kelebihan dibandingkan Non-steroidal anti-inflammatory drugs (NSAID) karena NSAID konvensional dapat berkaitan dengan efek serius yang tidak diinginkan seperti perdarahan atau gangguan pada ginjal apabila digunakan sebelum tindakan operasi.17 Parasetamol intravena merupakan obat pereda nyeri yang efektif dalam mengontrol rasa sakit saat keadaan darurat juga pasca operasi.18  

Baca juga : smile recovery post trauma

Baca juga : Perawatan lightcuring

  Tindakan operasi dilakukan dalam anestesi umum. Salah satu indikasi anestesi umum adalah operasi yang melibatkan beberapa kuadran rongga mulut dan diindikasikan pada pasien anak yang cenderung sulit untuk kooperatif selama pembedahan.19 Penanganan pertama yang dilakukan adalah pembersihan luka pada pasien. Pembersihan luka dilakukan dengan cara luka diirigasi menggunakan salin normal dan semua debris serta benda asing pada tubuh dihilangkan untuk mencegah adanya infeksi. Perdarahan juga terkontrol saat pembersihan luka karena tercapainya hemostasis selama dan setelah irigasi dan debridemen. Selanjutnya dilakukan ekstraksi pada gigi pasien yang mengalami kegoyangan dengan mobiliti grade 3, alveolektomi disertai penjahitan untuk fraktur dentoalveolar, dan penjahitan pada laserasi di palatum untuk fraktur palatum inkomplit tipe 2. Luka laserasi dan luka punctum dilakukan penjahitan. Penutupan luka harus dilakukan secara optimal dengan waktu 12 jam atau idealnya 6 jam sehingga memiliki risiko yang rendah terhadap infeksi, meningkatkan hasil yang estetik, dan mencegah terjadinya pembengkakan.20 Trauma merupakan cedera yang dihasilkan dari gaya eksternal. Hal tersebut merupakan salah satu masalah kesehatan yang paling sering terjadi pada anak. Salah satu trauma yang paling sering terjadi merupakan trauma pada bagian kepala dan maksilofasial. Trauma maksilofasial dapat meliputi fraktur tulang wajah serta luka abrasi dan laserasi pada jaringan lunak. Pemeriksaan pada pasien yang dilakukan diutamakan pada evaluasi jalan napas, kontrol perdarahan, dan pemeriksaan harus dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat defisiensi neurologi. Penanganan pasien anak yang paling tepat harus dilakukan karena terdapat kemungkinan dari berbagai trauma maksilofasial yang memiliki efek samping terhadap perkembangan kraniofasial. Trauma paling sering terjadi pada anak-anak adalah trauma dentoalveolar karena terjatuh saat bermain atau dapat pula terjadi akibat kecelakaan kendaraan bermotor.7, 8
Penanganan kegawatdaruratan meliputi pemeriksaan penilaian awal yang harus segera dilakukan dengan cepat pada pasien trauma. Penyebab utama kematian pada pasien trauma antara lain obstruksi jalan napas, kegagalan pernapasan, perdarahan masif, dan cedera otak. Penilaian awal pada kasus pasien trauma ini bedasarkan Advance Trauma Life Support (ATLS) menurut American College of Surgeons (ACS). Akronim yang umum digunakan dalam melakukan penilaian awal pada trauma adalah ABCDE, setiap huruf merepresentasikan area fokus. Apabila abnormalitas teridentifikasi di salah satu area fokus, maka hal tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum menuju algoritma selanjutnya.9 Algoritma A atau airway pada kasus ini menunjukkan adanya jalan napas yang bebas dengan c-spine control. Airway merupakan prioritas penilaian utama pada pasien trauma. Jalan napas dapat terhalang oleh lidah atau gigi yang terlepas. Selain itu darah, muntah, benda asing atau jaringan inflamasi juga mungkin dapat membahayakan jalan napas. Setelah memastikan adanya jalan napas yang bebas, algoritma B atau breathing dinilai. Penilaian ini dilakukan dengan inspeksi dan auskultasi terlebih dahulu. Inspeksi meliputi pengelihatan operator terhadap deviasi trakea, pneumotoraks terbuka atau luka pada dada yang signifikan, flail chest, gerakan dada paradoks, atau ekskursi dinding dada asimetris. Kemudian, auskultasi terhadap kedua paru dilakukan untuk mengidentifikasi penurunan atau bunyi paru yang asimetris.9, 10 Pernapasan pasien pada kasus ini dalam batas normal dengan bentuk dan gerak yang simetris serta terdapat bunyi napas yang simetris. Pemeriksaan berlanjut ke algoritma C atau circulation. Sirkulasi yang adekuat dibutuhkan untuk oksigenasi ke otak juga ke organ vital lainnya. Pemeriksaan sirkulasi dilakukan bersama dengan pengendalian perdarahan. Cedera maksilofasial cenderung mengalami perdarahan masif dan perdarahan yang dapat mengancam nyawa berkisar dari 1,4% sampai 11%.11 Kehilangan darah pada pasien trauma dapat menyebabkan syok. Sirkulasi dan perdarahan dievaluasi dengan
menilai tingkat responsivitas pasien, perdarahan yang terlihat jelas, warna kulit, dan denyut jantung. Pemeriksaan selanjutnya adalah algoritma D atau disability. Pemeriksaan ini meliputi penilaian status neurologis, dinilai dari Glasgow coma scale (GCS), besar dan reaksi pupil, serta tanda lateralisasi.9 GCS membagi tingkat keparahan cedera kepala menjadi cedera kepala ringan atau mild head injury (GCS 14-15), cedera kepala sedang atau moderate head injury (GCS 9-13) dan cedera kepala berat atau severe head injury (GCS 3-8). Skor GCS didasarkan pada penilaian 3 komponen keadaan pasien yaitu, respons pembukaan mata (E), respons motorik (M) dan respons verbal (V). Ketiga komponen dijumlahkan (E+M+V) sehingga didapat skor GCS maksimal 15 dan skor minimal 3.12 Pasien menunjukkan GCS 15 (E4M6V5) dengan pembukaan mata spontan sehingga nilai E adalah 4, dapat menggerakkan anggota tubuh sesuai perintah sehingga nilai M adalah 6, dan kemampuan berbicara dengan orientasi baik sehingga nilai V adalah 5, sehingga cedera kepala pasien diklasifikasikan sebagai mild head injury atau cedera kepala ringan. Penatalaksanaan kasus ini diawali dengan penilaian cedera kepala dan suturing vulnus laceratum regio frontal oleh bedah saraf, penilaian kardiopulmonal oleh ilmu kedokteran anak untuk persiapan operasi dan konsul bagian anestesiologi untuk tata laksana serta penilaian pre operatif untuk tindakan dalam anestesi umum. Tindakan pada kasus ini dilakukan wound debridement, ekstraksi gigi 83, 85, 42, alveolektomi pada regio gigi 54-21 dan 32-85, serta suturing pada vulnus laceratum dan vulnus punctum. Trauma maksilofasial dapat disertai dengan cedera kepala. Cedera kepala merupakan suatu cedera yang dapat mengakibatkan perubahan fungsi, yang terjadi baik secara fisik maupun mental yang berhubungan dengan benturan terhadap kepala. Trauma maksilofasial memiliki manifestasi fraktur wajah. Fraktur wajah relatif jarang terjadi pada anak-anak dibandingkan dengan orang dewasa.8 Hal tersebut diakibatkan karena strukur kerangka tulang wajah yang berbeda pada anak. Karakteristik kerangka wajah pada anak yaitu memiliki banyaknya tulang kartilago dan kanselus, mineralisasi yang rendah dan korteks yang belum berkembang, banyaknya garis sutura yang fleksibel, hal ini memberikan elastisitas dan fleksibilitas yang lebih besar pada kerangka wajah pada anak. Lapisan jaringan adiposa yang tebal melapisi kerangka wajah anak dan fat pads yang melapisi rahang atas dan bawah juga membantu melindungi tulang-tulang tersebut.13 Trauma maksilofasial pada anak kebanyakan terbatas pada cedera jaringan lunak dan dentoalveolar. Cedera tersebut dapat menyebabkan adanya luka laserasi superfisial, abrasi di bagian wajah, juga dapat berkaitan dengan berbagai cedera terhadap kepala, dada, abdomen, cervical spine, atau esktremitas.14 Fraktur rongga mulut juga mungkin terpengaruh oleh trauma maksilofasial diantaranya dapat menyebabkan gigi geligi goyang atau terlepas, kerusakan jaringan lunak seperti edema, kontusio, abrasi, laserasi dan avulsi.15 Pernyataan tersebut sesuai dengan kasus ini yang menunjukkan adanya fraktur dentoalveolar dan fraktur palatal inkomplit tipe 2, terdapat luka laserasi di bagian wajah dan juga di dalam rongga mulut, luka punctum di area labiomentale, dan luka abrasif di regio wajah juga pada klavikula bagian atas dan regio leher kanan pasien, serta terjadinya avulsi dan kegoyangan gigi dengan mobiliti grade 3 di beberapa gigi.

SIMPULAN

Kasus ini memberikan gambaran pada hasil perawatan dengan kondisi pasien yang baik saat datang kontrol, perdarahan dapat teratasi dan luka pada ekstra oral dan intra oral mengalami penyembuhan. Penatalaksanaan cedera kepala dan trauma maksilofasial pada kegawatdaruratan medis anak harus dilakukan segera untuk mengurangi resiko kematian dan kecacatan. Penatalaksanaan kegawatdaruratan medis cedera kepala dan trauma maksilofasial pada kasus ini yang melibatkan bagian bedah saraf, ilmu kesehatan anak, anestesi dapat mencegah kematian dan mengurangi resiko kecacatan yang lebih parahPenilaian awal secara komprehensif sangat penting dalam menentukan rencana perawatan kegawat daruratan pada pasien trauma maksilofasial.

DAFTAR PUSTAKA

1. Fonseca RJ. Oral and Maxillofacial Surgery: 3rd ed. Elsevier Health Sciences. 2017. p. 2696
2. Boffano P, Roccia F, Zavattero E, Dediol E, Uglešić V, Kovačič Ž, Vesnaver A, et al. European Maxillofacial Trauma (EURMAT) in children: a multicenter and prospective study. Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol. 2015; 119(5): 499-504. DOI: 10.1016/j. oooo.2014.12.012. 3. Isik D, Gonullu H, Karadas S, Kocak OF, Keskin S, Garca MF, et al. Presence of accompanying head injury in patients with maxillofacial trauma. 2012; 18(3): 200-6. DOI: 10.5505/ tjtes.2012.01047 4. Satyanegara HR, Abubakar S, Maulana A, Sufarnap E, Benhadi IJEIJPGPU. Ilmu Bedah Saraf Satyanegara. 2014. 5. Rasul MI, Arifin MJM. Penatalaksanaan pasien cedera kepala dengan fraktur panfasial dan pneumosefalus. 2012;1(6): 1-9. DOI: 10.35856/ mdj.v1i6.85 6. Güven E, Uğurlu AM, Kuvat SV, Kanlıada D, Emekli U. Minimally invasive approaches in severe panfacial fractures. Ulus Travma Acil Cerrahi Derg. 2010; 16(6): 541-5. 7. Al Shetawi AH, Lim CA, Singh YK, Portnof JE, Blumberg SM. Pediatric Maxillofacial Trauma: A Review of 156 Patients. J Oral Maxillofac Surg. 2016; 74(7): 1420.e1-4. DOI: 10.1016/j. joms.2016.03.001. 8. Aghdash SA, Azar FE, Azar FP, Rezapour A, Moradi-Joo M, Moosavi A, Sina Ghertasi Oskouei 7. Prevalence, etiology, and types of dental trauma in children and adolescents: systematic review and meta-analysis. Med J Islam Repub Iran. 2015; 29(4): 234. 9. Planas JH, Waseem M, Sigmon DFJS. Trauma primary survey. Stat pearls. 2020; 49(1): 48-53. 10. ATLS Subcommittee; American College of Surgeons’ Committee on Trauma; International ATLS working group. Advanced trauma life support (ATLS®): 9th Ed. J Trauma Acute Care Surg. 2013 May;74(5):1363-6. DOI: 10.1097/ TA.0b013e31828b82f5. 11. Jose A, Nagori SA, Agarwal B, Bhutia O, Roychoudhury A. Management of maxillofacial trauma in emergency: An update of challenges and controversies. J Emerg Trauma Shock. 2016; 9(2):73-80. DOI: 10.4103/0974- 2700.179456. 12. Tsitsopoulos, F.D., Tsitsopoulos, P.P. Handbook of Neurosurgery (ebook), 7th Edition, by Mark S. Greenberg. Acta Neurochir 156, 2019
(2014). DOI: 10.1007/s00701-014-2159-9
  1. Mukherjee CG, Mukherjee U. Maxillofacial trauma in children. Int J Clin Pediatr Dent. 2012; 5(3): 231-6. DOI: 10.5005/jp-journals-10005-1174.
  2. Joshi UM, Ramdurg S, Saikar S, Patil S, Shah K. Brain Injuries and Facial Fractures: A Prospective Study of Incidence of Head Injury Associated with Maxillofacial Trauma. J Maxillofac Oral Surg. 2018 Dec;17(4):531-537. DOI: 10.1007/s12663-017-1078-8.
  3. Sastrawan AD, Sjamsudin E, Faried AJMKGI. Penatalaksanaan emergensi pada trauma oromaksilofasial disertai fraktur basis kranii anterior. 2017; 3(2): 111-7. DOI: 10.22146/ majkedgiind.12606
  4. Wisher D. Martindale: The Complete Drug Reference. 37th ed. J Med Libr Assoc. 2012; 100(1): 75–6. DOI: 10.3163/1536-
5050.100.1.018. 17. Eftekharian H, Tabrizi R, Kazemi H, Nili M. Evaluation of a Single Dose Intravenous Paracetamol for Pain Relief After Maxillofacial Surgery: A Randomized Clinical Trial Study. J Maxillofac Oral Surg. 2014; 13(4): 478-82. DOI: 10.1007/s12663-013-0557-9. 18. Azimi Far A, Abdoli A, Poorolajal J, Salimi R. Paracetamol, ketorolac, and morphine in post- trauma headache in emergency department: A double blind randomized clinical trial. Hong Kong J Emerg Med. 2020; 15(1): 1-7 DOI: 10.1177/1024907920920747 19. Moore UJ. Principles of oral and maxillofacial surgery. 6th Ed. John Wiley & Sons; 2011. p. 356 20.Braun TL, Maricevich RS. Soft Tissue Management in Facial Trauma. Semin Plast Surg. 2017 ; 31(2): 73-79. DOI: 10.1055/s- 0037-1601381.

Tentang Penulis :

Saptiadi Oktora1*, Eka Marwansyah Oli’i2, Endang Sjamsudin1 1Departemen Ilmu Bedah Mulut, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran, Indonesia 2Departemen Bedah Mulut dan Maksilofasial, Klinik Eksekutif Subspesialistik Rumah Sakit Umum Pusat Hasan Sadikin, Indonesia *Korespondensi: saptiadi.oktora@gmail.com Submisi: 29 September 2020; Penerimaan: 27 Februari 2021; Publikasi online: 28 Februari 2021 DOI: 10.24198/jkg.v32i3.29510 Jurnal ini pertama kali tayang pada jurnal Kedokteran gigi Unpad
 
 
   

Tags :

#ASI #bone #crowding #defek #densitas tulang #density #diskon alat kesehatan gigi #erythema #furkasi #kandidiasis #kelas III molar kedua #kuretase #maloklusi #mandibula #multiforme #oral #oral candidiasis #Osteoblas #panoramic #panoramik #perawatan endodontik #preclinical dentistry students #radiograf #radiographs #restorasi endocrown #saliva #salivary flow rate #skeletal #software imageJ #Usia kronologis

Bagikan produk ke :